Friday, May 6, 2011

pendekar mabuk eps 1 part 3B

"Sial! Ternyata tidak mudah mendapatkan bocah tanpa pusar itu. Ada-ada saja perintangnya! Bocah sinting itu ternyata punya kekuatan keramat tersendiri. Kalau dia berhasil mewarisi ilmu-ilmuku, sudah pasti dia akan menguasai rimba persilatan. Dia akan menjadi seorang pendekar tanpa tanding. Karena keberadaannya yang tanpa pusar alias tidak punya udel itu, telah mewarisi kekuatan keramat, di antaranya ia tidak mudah lelah, napasnya panjang dan otot-ototnya pun kuat. Sayang sekali kalau sampai ia jatuh di tangan manusia sesat dan dikuasai oleh orang-orang dari golongan hitam!"

Saat itu, bocah tanpa pusar mengusap-usap dagunya yang tanpa selembar rambut pun, tapi sepertinya ia merasa mempunyai jenggot yang sedikit panjang. Gerakan matanya liar dan nakal bersama senyum orang dewasa yang dibawakannya.

Pada waktu Bidadari Jalang melancarkan pukulan jarak jauhnya yang tidak terlalu berat ukurannya, Suto melenting ke atas dan bersalto satu kali, kemudian dari posisinya yang sedang bergerak turun itu dia menghentakkan kedua tangannya ke depan, ke arah Bidadari Jalang.

Wooos... !

Semburan api meluncur dari kedua telapak tangan Suto. Hampir saja semburan itu mengenai rambut Bidadari Jalang. Untung saja perempuan itu segeramelompat ke belakang dalam gerakan salto juga.

Gila Tuak terperanjat. Hatinya seketika itu berkata, "Edan! Itu jurus Tapak Bromo?!"

Segera mulut si Gila Tuak berseru pada Bidadari Jalang dari tempatnya berdiri.

"Nawang! Mundurlah! Lekas! Berdiri di belakangku, Nawang!"

Mendengar nada suara Gila Tuak yang tegang, firasat Nawang Tresni alias Bidadari Jalang itu, mengatakan bahwa dirinya dalam ancaman yang membahayakan. Agaknya si Gila Tuak benar-benar mempunyai keputusan yang harus dipatuhi. Maka dengan gerakan melayang tinggi, kaki satu lurus menendang ke samping ke arah kepala Suto, yang saat itu juga kembali melayang untuk menyerang, Bidadari Jalang berusaha tiba di dekat Gila Tuak.

Tendangan samping yang terbang itu meleset pada sasarannya, karena tubuh Suto berhasil merunduk. Pada saat tubuh Bidadari Jalang terbang di atas kepalanya, tangan kiri Suto menghentak ke atas, dan tepat mengenai paha Bidadari Jalang.

Plokk...!

"Uuh...!" Bidadari Jalang tidak merasakan sakit, namun merasa kaget dan geli. Ia seperti mendapat godaan dari tangan iseng seorang lelaki dewasa. Hatinya jadi berdesir dan deg-degan.

"Dia kurang ajar padaku, Gila Tuak!"
"Dia bukan Suto. Aku mengenal jurus 'Tapak Bromo' tadi."
"Dia mau memancing gairahku."
"Karena dia Malaikat Tanpa Nyawa."
"Hah...?!" Bidadari Jalang terkejut. "Bukankah Malaikat Tanpa Nyawa itu sudah kau bunuh?"

"Ya. Tapi murid Malaikat Tanpa Nyawa itu masih penasaran ingin membalas dendam atas kematian gurunya padaku. Satu-satunya murid dari Malaikat Tanpa Nyawa adalah Cadaspati. Ia menguasai ilmu 'Tapak Bromo' dan 'Inti Neraka'. Ilmu 'Inti Neraka' bisa disusupkan ke tubuh seseorang dari jarak jauh, dan orang itu jadi mewakili dirinya. Suto jadi sasaran untuk melancarkan serangan dendamnya padaku. Jangan kau ikut campur dulu, Nawang. Diamlah di belakangku. Dia perlu kuhadapi sendiri, biar tak timbul korban lain."

Sambil bergerak ke belakang Gila Tuak, Bidadari Jalang membenarkan kata-kata Gila Tuak itu di dalam hatinya. Bahkan di dalam hati pula perempuan itu berkata, "Pantas bocah itu mampu membuatku terpental sebelum kupegang. Rupanya Cadaspati yang mengendalikan Suto dari jauh. Tapi di mana ia bersembunyi? Sejak tadi tak kulihat orang bersembunyi di sekitar sini, Licik. Ia sengaja menggunakan raga bocah tanpa pusar itu, karena ia tahu bahwa aku dan Gila Tuak tidak berani melukai atau membunuh Suto. Dalam keadaan seperti itu, maka Cadaspati merasa punya perisai sendiri dalam melakukan penyerangannya kepada Gila Tuak!"

Terbayang dalam benak si Bidadari Jalang pada saat ia bertemu dengan Malaikat Tanpa Nyawa dan Cadaspati di lereng Gunung Layon. Pertemuan para tokoh terjadi di lereng gunung itu. Dari partai pengemis, diwakili oleh si Bongkok Pencabut Uban, dari partai pengembara diwakili oleh Pendekar Gusi Berdarah, dari partai pertapa sakti diwakili oleh Resi Dewa Tembang, dari partai pelacur sakti di wakili oleh Nyai Ganjen Pemikat, dari partai banci keramat diwakili oleh Mahesa Gincu, dan dari partai perampok diwakili oleh Malaikat Tanpa Nyawa yang selalu didampingi Cadaspati, serta tokoh-tokoh lainnya pun hadir termasuk Bidadari Jalang dan si Gila Tuak.

Dalam pertemuan memilih tanding untuk melawan Tiga Pendekar Tibet itulah, Bidadari Jalang bertemu dengan Cadaspati.

Bertubuh kurus kering, rambutnya panjang acak-acakan, matanya cekung, jenggotnya abu-abu, bersenjata cambuk tiga lidah. Gerakannya begitu gesit, sehingga Bidadari Jalang merasa maklum jika kali ini bocah tanpa pusar itu mampu bergerak segesit belut putih. Tak heran juga jika Suto sebentar- sebentar mengusap dagunya, karena yang hadir dalam raganya adalah ilmu dan gerakan Cadaspati yang senang mengusap-usap jenggot kelabunya.

Bahkan Bidadari Jalang tidak merasa heran lagi melihat Suto kembali melancarkan pukulan jarak jauhnya ke arah Gila Tuak. Dan pukulan tanpa bentuk, tanpa wujud serta tanpa hawa itu berhasil ditangkis oleh Gila Tuak dengan memutarkan tongkatnya di bagian depan. Pukulan itu terbuang ke samping, menghantam batang pohon kelapa, membuat pohon kelapa itu kering seketika tanpa membuat buah- buahnya jatuh, bahkan selembar daunnya pun tak ada yang berguguran ke tanah. Benturan tenaga dalam yang sempurna dengan batang kelapa itu hanya menimbulkan bunyi seperti sarung dikibaskan di udara. Wuuugh... !

Dengan tanpa menggerakkan kaki, Gila Tuak ganti menghentakkan ujung tongkatnya ke arah gundukan batu karang. Zuubb...! Dari ujung tongkat itu keluar sinar merah membara, meluncur menghantam gundukan batu karang, lalu memantul balik dalam bentuk sinar putih perak dan menghantam tubuh Suto dari belakang.

Wesss... !

"Uhhg...!" Suto tersentak ke depan. Mestinya jatuh tersungkur, namun ia begitu lincah, hingga dapat berguling di tanah dan dalam waktu dekat sudah berhasil berdiri lagi dengan satu lentingan tubuh yang tidak terlalu tinggi. Jleg...! Kedua kaki bocah itu menapak mantap bagaikan kedua kaki orang dewasa yang kekar.

"He he he he...," kali ini Suto tertawa. Dan suara tawa yang mengekeh itu semakin membuat Gila Tuak serta Bidadari Jalang semakin yakin, bahwa tawa itu ada lah milik murid terkasih Malaikat Tanpa Nyawa.

"Pandai juga kau memukulku tanpa harus melukai, Gila Tuak," katanya dengan suara besar sedikit serak.
Jelas bukan suara Suto.

"Kalau kau memang masih menyimpan dendam padaku, hadapilah aku tanpa harus menggunakan raga bocah itu."

"Ho ho ho... justru aku menggunakan raga bocah ini supaya aku terlindung dan aku bisa membuatmu hancur berkeping-keping. Bukankah kau hanya bisa mati di tangan bocah tanpa pusar? Ho ho ho ho.... Sekarang saatnya aku membalas dendam atas kematian guruku!''
Bidadari Jalang yakin, bahwa Cadaspati telah salah duga. Ia sangka Gila Tuak bisa mati di tangan bocah tanpa pusar, padahal sebelum ilmunya diturunkan pada bocah tanpa pusar, Gila Tuak sulit dibunuh oleh senjata apa pun dan oleh pendekar mana pun. Kesalahpahaman itulah yang membuat Cadaspati begitu semangatnya membalas dendam kepada Gila Tuak menggunakan raga Suto.

Tiba-tiba tangan Suto bergerak memutar-mutar keduanya. Gerakannya acak-acakan. Tubuhnya berputar pula dengan putaran tak menentu arah. Ia seperti bocah kesurupan. Suara geram yang timbul dari mulutnya seperti suara seekor singa terjepit pohon.

Pada waktu itu, Gila Tuak menggenggam erat ujung tongkatnya. Ujung tongkat bagian bawah menancap di tanah, tepat di depannya. Kini kedua tangan Gila Tuak berpegangan pada kepala tongkat yang merapat di ulu hati. Posisi tongkat itu sedikit miring ke depan. Kepala Gila Tuak agak tertunduk dan memejamkan mata.

Hawa dingin mulai terasa meresap sampai ke tulang. Bidadari Jalang sadar, bahwa hawa dingin yang hadir saat itu bukan hawa dingin dari laut, melainkan dari gerakan tangan Suto yang memancarkan tenaga dalam berhawa dingin. Maka, Bidadari Jalang pun segera memusatkan konsentrasinya dengan merapatkan tangan kanannya ke pertengahan dada dalam posisi telapak tangan terbuka dan jempolnya terlipat. Ia pun sedikit memejamkan matanya untuk mengeluarkan hawa panas dari setiap pori-pori tubuhnya.

Angin berhembus kencang pada saat Suto berhenti bergerak gila itu. Kini kedua tangannya terangkat ke atas dengan telapak tangan tengadah. Kedua tangan bocah itu bergetar, mulutnya bagai meraungkan lolongan kecil. Semakin lama, semakin hadir mencekam udara dingin itu. Angin kencang dan guntur menggelegar di angkasa dengan sesekali kilatan cahaya petirnya menyambar-nyambar. Anehnya, rembulan tetap ada dan tetap menerangi bumi.

Kilatan cahaya petir bagai berjalan mengelilingi bagian atas si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Sepertinya kilatan cahaya petir itu ingin menyambar habis tubuh Gila Tuak, namun ada sesuatu zat yang melindungi tubuh si tua bangka tersebut.

Dan tiba-tiba kedua tangan Suto turun dengan gemetar serta pelan-pelan. Tangan itu merapat di depan ketiaknya. Lalu, sebelum tangan itu dihentakkan keduanya ke depan, terdengar seruan dari Suto.

"'Guntur Colok Sukma'! Hiaaat...!"

Kedua telapak tangannya didorongkan ke depan, dan dari telapak tangan itu memancarlah ribuan, bahkan jutaan, jarum bernyala membara. Jarum-jarum yang membara itu mengerombol dan meluncur ke arah dada Gila Tuak. Dengan cepat si Gila Tuak itu membuka telapak tangannya di depan dada. Dari telapak tangan Gila Tuak menyemburlah dua cahaya hijau muda yang memisah ke dua arah. Kedua bias cahaya hijau itu membentur masing-masing gerombolan jarum-jarum membara.

Akibatnya, jarum-jarum berwarna merah menyala itu bagai tertahan di udara, tak bisa menembus maju. Bahkan makin lama makin terdesak mundur. Bias cahaya hijau itu begitu kuat menekan gumpalan cahaya membara dari tangan Suto. Tubuh bocah itu tampak bergetar menahan kekuatan yang maha dahsyat ingin membalik ke dirinya.

Gila Tuak tetap tenang, walau tubuhnya mulai berkeringat. Tangan kanannya yang memancarkan dua bias cahaya hijau itu gemetar, dan matanya jadi merah. Bidadari Jalang melihat hal itu dengan tegang. Sesekali ia memandang ke langit di mana petir-petir masih berusaha melesat ke arah Gila Tuak dan memantul balik dengan suaranya yang menggelegar. Ombak laut pun mulai mengamuk, bergulung-gulung di tengah samudera menuju ke tepian.

Bidadari Jalang menjadi cemas melihat jutaan jarum membara semakin dekat dengan telapak tangan Suto. Itu pertanda jarum-jarum membara kian terdesak.

"Jika sampai tenaga itu masuk kembali ke dalam telapak tangan Suto," pikir Bidadari Jalang. "Maka cahaya hijaunya Gila Tuak akan ikut masuk ke dalam telapak tangan bocah itu. Dan ini suatu tindakan yang berbahaya. Gila Tuak melancarkan Ilmu 'Pecah Raga', yang tentunya akan membuat hancur tubuh Suto kalau tidak segera cepat cepat ditarik kembali sinar itu. Gawat...! Aku harus segera bertindak untuk menyelamatkan raga Suto itu!"

Semakin tipis sisa cahaya merah membara dari telapak tangan bocah tanpa baju itu. Semakin mengucur peluh yang keluar dari tubuh Gila Tuak. Maka, segera Bidadari Jalang melenting ke atas dan bersalto beberapa kali melewati kepala Gila Tuak dan Suto.

Wuugh... wuugh... wuugh...! Jleg...!

Bidadari Jalang menapakkan kakinya di belakang Suto. Kemudian ia mengibaskan jubahnya ke depan dan terpancarlah kabut dari jubah itu berwarna putih keperakan, sepertinya kabut itu mengandung bintik- bintik serpihan mutiara yang jumlahnya berjuta-juta. Bintik-bintik mengkilat dan kabut itu segera membungkus tubuh Suto tepat pada saat sinar merah dari tangan Suto melesak ke dalam telapak tangan, dan sinar hijau dari Gila Tuak terdesak masuk dalam satu hentakan yang cukup kuat.

"Aaakh...!"

Bukan tubuh Suto yang terpental ke belakang, melainkan tubuh Bidadari Jalang yang seolah-olah menjadi sasaran hentakan sinar hijaunya Gila Tuak. Tubuh perempuan itu berguling-guling, sesekali terpental terbang bagaikan kapas terhembus angin. Begitu jauh ia terpental, hingga suara teriakannya menjadi kecil.

Kabut putih berbintik-bintik berkelip itu masih menaungi bagian belakang Suto. Anak itu bagai terperangkap jala. Ia tak bisa bergerak ke sana-sini. Ruang geraknya sempit sekali. Bahkan semakin lama kabut itu semakin mutlak membungkus tubuhnya, hingga tubuh kecil itu seperti berada dalam tabung yang amat transparan.

"Jahanam!" teriak bocah itu. Masih terdengar jelas kemarahan suaranya. Ia ingin menghantamkan kekuatannya kembali ke arah Gila Tuak, namun sepertinya semua kekuatannya teredam oleh kabut aneh tersebut.

"Bidadari Jalang! Kau ikut campur dalam urusanku, hah? Kuhancurkan juga tubuh jalangmu itu, Biadab!" Suto memaki-maki sendiri. Ia hanya bisa berbalik arah, namun tak mampu melangkah keluar dari gumpalan kabut transparan tersebut. Kerlip-kerlip yang mirip serpihan mutiara itu membuat suasana di sekitar Suto menjadi terang. Suto kelabakan mencari jalan keluar.

Kesempatan itu digunakan oleh Gila Tuak yang belum bisa bergerak pula dari tempatnya untuk bersemadi dalam keadaan berdiri. Tongkat dipegang di tangan kiri, sementara tangan kanannya merapat tegak di bagian dadanya. Makin lama kaki Gila Tuak semakin jelas mengepulkan asap. Butiran pasir yang putih itu menjadi merah sedikit demi sedikit. Merah membara bak serpihan logam panas.

Kemudian, si Gila Tuak berteriak keras dari panjang. "Hiaaah...!"

Broolll... !

Tubuh Gila Tuak berhasil jebol dari tanah. Melompat ke atas dengan ringannya, bersalto ke belakang satu kali, dan segera mendarat di tanah dengan tegak dan kokoh kembali. Napas Gila Tuak terhempas lega. Ia memandang bekas tempatnya berdiri masih tampak merah membara, sebagian ada yang berpasir hangus. Asap masih mengepul di bekas tempatnya berdiri.

"Jahanam, Bidadari Jalang...! Lepaskan aku dari penjaramu ini! Hoooi... Bidadari Jalang, lepaskan kabut ini. Singkirkan! Atau kuhancurkan tubuhmu dari sini, Setan!"

Gila Tuak tersenyum tipis. Memandang jauh ke sana, di mana Bidadari Jalang tampak kecil dan sedang berusaha untuk bangkit. Gila Tuak pun segera mendekati Suto yang bernasib sial, yaitu menjadi wakil kehadiran Cadaspati. Mata Suto memandang tajam pada Gila Tuak, mulutnya menggeram penuh nafsu untuk membunuh.

"Siapa pun tak bisa lepas dari Selubung Kematian ini," kata Gila Tuak. "Selubung Kematian ini akan membuat tubuhmu menjadi kering dan mati tanpa tulang lagi. Ini jurus simpanan Bidadari Jalang yang jarang-jarang digunakan kalau tidak dalam keadaan terpepet."

"He he he...!" Cadaspati tertawa terkekeh-kekeh menggunakan mulut Suto. "Kalian tidak mungkin membiarkan raga bocah yang kupakai ini menjadi kering dan mati tanpa tulang. Cepat atau lambat, kalian pasti akan segera membebaskan aku."

Peluh menetes dari kening kakek tua itu. Namun napasnya mulai reda. Ia tetap kelihatan tenang dan berkata, "Aku sudah terbebas dari jurus 'Paku Jagat'-mu tadi. Itu berarti kau tak punya kesempatan untuk mengendalikan raga bocah itu lebih lama lama. Aku akan menyimpan kekuatan 'Inti Neraka'-mu di dalam tongkatku, dan akan kusatukan ke dalam hawa murni bocah tanpa pusar ini, sehingga kekuatan ilmu itu akan menjadi miliknya."

"Gggrrr...!" Cadaspati menggeram antara jengkel dan ketakutan. Matanya membelalak tajam, ingin melancarkan pukulan dahsyatnya, namun tidak kuasa berbuat itu.

Dari jauh, tampak Bidadari Jalang berjalan dengan oleng, seperti orang mabuk. Makin lama makin dekat, makin jelas ada darah sedikit meleleh di sudut bibirnya. Kalau saja bukan Bidadari Jalang yang menahan pukulan sinar hijaunya Gila Tuak, sudah pasti tubuh orang tersebut akan hancur seketika. Ia juga mempunyai pukulan jenis 'Pecah Raga', yang bernama 'Lebur Jiwa', namun sekarang tak bisa digunakan karena rongrongan Racun Birahi dalam tubuhnya itu.

"Bagaimana keadaanmu, Nawang?"

"Monyet kamu!" umpat Nawang Tresni dengan dongkol. "Mengapa kau gunakan ilmu "Pecah Raga"? Apakah kau tidak menyadari bahwa ilmu itu bisa menghancur leburkan tubuh Suto?"

"Aku sadar. Dan aku pun tahu bahwa kau tidak akan tinggal diam. Kau pasti tahu bahayanya ilmu itu, namun kau mestinya juga tahu, bahwa aku tak punya pilihan lain untuk menghadapi serangan berbahaya itu. Aku yakin, kau akan segera bertindak menyelamatkan tubuh bocah itu."

"Benar-benar tua rongsok kamu ini!" omel Bidadari Jalang. ''Kau memancingku untuk menjadi umpan, ya?"

"Maafkan aku. Lupakan soal itu. Sekarang, bukalah Selubung Kematianmu itu. Akan kucungkil ilmu 'Inti Neraka' si murid Malaikat Tanpa Sunat itu dari raga Suto. Aku sudah bebas bergerak."

"Biadab!" geram Suto. "Nama guruku Malaikat Tanpa Nyawa, bukan Malaikat Tanpa Sunat!"

"He he he.... Rasa-rasanya julukan gurumu memang harus sedikit dirubah begitu. Karena sebentar lagi kau tidak akan mempunyai ilmu andalan dari gurumu itu!"

"Dan itu artinya ilmumu disunat," sambung Bidadari Jalang dengan menahan geli. "Jadi, memang pantas kau berjuluk murid terkasih Malaikat Tanpa Sunat. Hi hi hi...," akhirnya Bidadari Jalang tertawa juga. Ia lupa pada kedongkolannya.

Wajah Suto yang mewakili wajah murid Malaikat Tanpa Nyawa itu kelihatan semakin gusar. Ada perasaan cemas yang lebih kuat lagi, dan kian lama membuatnya kian terengah-engah.

"Nawang, lekas buka Selubung Kematian itu sebelum membahayakan raga Suto. Aku akan bersiap mencungkil ilmu itu untuk Suto kelak!"

"Baiklah. Bersiaplah, Gila Tuak. Begitu kubuka Selubung Kematian, cepat cungkil ilmu itu dari raga Suto."
"Tunggu dulu," sergah Suto dengan suara mirip Cadaspati. "Aku mempunyai suatu gagasan yang baik."
"Hmmm...!" Bidadari Jalang hanya mencibir sinis.

"Aku akan mengabdi kepada kalian selamanya, asal kalian membebaskan aku dari Selubung Kematian ini.
Aku rela jadi abdi kalian, dan menurut dengan perintah kalian."

"Hmm...," Gila Tuak juga mencibir. Lalu katanya lagi. "Mana ada seekor kuda menuntut pakaian, mana ada hati durjana mengenal perdamaian?! Tipu muslihatmu sudah tak laku, Cadaspati. Sekali jahat, tak mampu lagi orang terjerat. Janjimu itu ibarat asap kemenyan, yang menyebarkan bau wewangian tanpa sesajian. Aku dan adik seperguruanku ini tidak punya pilihan lain."

"Aku bicara dengan sungguh-sungguh. Aku mengakui keunggulan ilmu kalian," bujuk Cadaspati.

"Terima kasih atas pengakuanmu," kata Gila Tuak. "Sayang pengakuan itu terlambat datangnya, karena aku sudah punya keputusan yang tak bisa diganggu gugat lagi."

Gila Tuak memandang Bidadari Jalang. Waktu itu, Bidadari Jalang habis menyapu sisa darah yang meleleh di sudut bibirnya. Gila Tuak pun berkata, "Lakukan, Nawang...!"

"Tunggu... jangan dulu... jangan...!" Suto memekik keras-keras. Itu pertanda Cadaspati sangat ketakutan.

Si Gila Tuak segera membuka penutup tongkatnya, ia menenggak habis sisa tuak yang ada di dalam tongkat itu. Ia tidak menelannya, namun menampungnya di dalam mulut, hingga kedua pipinya melembung. Lalu, ia memberi isyarat kepada Bidadari Jalang dengan menganggukkan kepala. Maka, Bidadari Jalang pun mengibaskan jubahnya ke depan, dan kabut berbintik- bintik berkelip itu pun terhisap masuk ke dalam jubah ungunya.

Bertepatan dengan itu, Gila Tuak menyemburkan tuak yang ada di dalam mulutnya ke arah Suto. Brusss... !

"Haaagh...!" kepala Suto terdongak, tubuh pun tegak. Keras seluruh uratnya. Menyeringai wajah bocah itu. Dari pertengahan kedua matanya, tepat di bawah dahi, keluarlah cahaya berwarna kekuning-kuningan agak putih. Cahaya itu melesat terbang, dan dengan hentakkan kaki pelan, tubuh Gila Tuak pun melesat ke atas. Bersalto di udara sambil menggerakkan tongkat yang terbuka tutupnya itu.

Tiba-tiba cahaya kuning yang tiga kali lebih besar dari kunang-kunang itu tersedot ke dalam tabung tongkat. Cahaya itu mulanya ingin berusaha lolos pergi, tetapi daya hisap dari mulut tabung tongkat begitu kuat. Maka, cahaya kuning tipis itu tersedot masuk, dan Gila Tuak segera menutupnya. Treep...!

Kekuatan ilmu 'Inti Neraka' yang sukar didapat itu terperangkap masuk di dalam tabung tongkat. Kini keadaan Suto kembali normal, menjadi dirinya, sebagai bocah berusia delapan tahun yang tidak memiliki pusar. Dulu, ketika ia lahir, ia memang mempunyai tali pusar. Namun setelah tali pusar itu diputus, makin lama lubang itu menciut. Makin besar makin tertutup kulit dari daging tubuhnya. Hingga dalam usia delapan tahun, perut bocah itu rata. Tidak mempunyai lubang tali pusar.

"Apakah kau akan mencari tempat persembunyian Cadaspati?" tanya Bidadari Jalang. Si Gila Tuak menjawab, "Nanti saja. Yang penting kita harus menyelamatkan anak ini dulu ke tempat yang aman."

Suto segera bertanya, "Bibi, apakah aku tadi habis tertidur?" tanyanya kepada Bidadari Jalang. Perempuan itu hanya mengangguk dengan senyum ceria.

"Ya, kau lelah dan tidur cukup lama."

Gila Tuak berkata kepada Suto, sambil tersenyum- senyum dan mengusap-usap kepala Suto yang ditumbuhi rambut hitam yang cukup lebat.

"Sekarang sudah waktunya kau mempersiapkan diri untuk menjadi seorang pendekar tanpa tanding, Suto."
"Pendekar tanpa tanding?" Suto berkerut dahi.
"Jangan tanpa tanding, ah! Nanti aku tidak punya lawan. Lantas, untuk apa aku jadi pendekar kalau tidak punya tandingannya?"

Giia Tuak dan Bidadari Jalang terkekeh geli mendengar kebodohan yang polos dari anak itu. Maka, Bidadari Jalang pun berkata, "Bagaimana kalau kau menjadi pendekar cinta saja?"

"Husy! Jangan bicara seperti itu pada anak kecil, Nawang!" sentak Gila Tuak. Tetapi pada saat itu ternyata Suto menyahut, "Aku mau. Aku mau jadi pendekar cinta, Bi. Aku mau...!"

"Hei, kenapa kau mau?!" sentak Gila Tuak lagi.
"Biar kekasihku banyak, hi hi hi...!" Suto tertawa cekikikan dengan malu. Bidadari Jalang pun tertawa geli, sedangkan Gila Tuak bersungut-sungut dalam gerutunya,

"Dasar bocah sinting!"

Gila Tuak dan Bidadari Jalang, dua tokoh sakti di rimba persilatan yang namanya cukup menggetarkan jiwa setiap orang itu kini siap mengembleng Suto. Apakah yang akan terjadi kelak pada bocah itu?
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes